Kamis, 05 Februari 2009

XPDC ini...demi sebuah KARYA

Jumat, 23 Januari 2009

Tidak ada tanda kegembiraan di sore ini yang mengisyaratkan kalau tiga hari kedepan akan menjadi perjalanan panjang bagi saya, bersama seorang sahabat bernama Joko, untuk menyelusuri alam dan kehidupan di daerah Lampung. Sore ini hadir dengan beberapa raut kesibukan, berkeping keping error dan bugs, bayangan dead line yang makin mendekat, dan ultimatum terakhir yang terngiang dari sang pemegang IT disini, The cool He, is my boz.

“Kalau kamu emang butuh hari tambahan untuk ngerjain ini, besok ama minggu kamu masuk Gen”

“Wah jangan deh pak, masalahnya saya ada rencana yang sudah disusun jauh hari sebelumnya. Saya bisa pastikan program ini akan berjalan dengan baik nantinya!”

“Mau kemana kamu emangnya?”

“Keluar pulau pak, Sumatera”

“Ya sudah, kamu atur aja”

[CLOSED]

Jam 5 sore saya langsung bergegas pulang untuk mempersiapkan bekal yang akan dibawa. Selesai mengikuti kuliah Kalkulus 2 sampai jam setengah 9 malam, saya langsung berangkat menuju kosan Joko. Setelah sholat isya dan sedikit melakukan koordinasi, pukul 9 malam tepat perjalanan kami mulai menuju terminal Cikarang. Sampai di terminal ternyata semua bis sudah off. Hanya terlihat beberapa kernet yang sedang memandikan bis. Pilihan selanjutnya adalah naik dari terminal Bekasi Barat. Memang untung tak dapat disikat, malah malang yang datang. Sebelum memasuki terminal Bekasi Barat Pak Sopir mengatakan kalau bis yang ke Merak sudah habis. Paling besok pagi. Akhirnya kami memutuskan untuk menyambung perjalanan menuju terminal Kampung Rambutan. Setibanya di terminal yang sering diberitakan dalam acara Buser atau program berita kriminal itu, kami langsung mencari bis yang dimaksud.

“Bis yang menuju merak sudah habis pak, paling nanti jam 3 pagi”

Jam tiga!!!! Sedangkan sekarang masih jam 12…oooo ini benar benar petualangan.

“Coba ke Jalan Baru aja pak, mudah mudahan masih ada bis yang ngetem.”

Mendengar saran tersebut, serta merta kami langsung berangkat ke lokasi menggunakan angkutan kota dengan ongkos 1000 perak. Selang 10 menit kemudian…

“Itu pak bisnya yang lagi jalan”


Setelah membayar ongkos kami langsung berlari secepat mungkin mengejar bis terakhir tersebut, mirip copet yang lagi dikejar massa. Tapi kami bukan copet cui, enak aja lu mikir kami copet, kami ini garong!!!!

Dan memang nasib mujur belum berpihak, dua orang petualang menemukan dirinya dalam ketidak berdayaan. Bisnya sudah pergi, hilang tertelan kelam malam. Pertanyaan saat ini, mau diistirahatkan dimana raga ini? Sedikit terlintas perasaan empati pada mereka yang berstatus homeless. Mana atap atap kokoh yang melindungi kalian dari terpaan hujan dan sengatan matahari? Mana lantai lantai yang bisa memberikan kalian tempat untuk tidur, hanya untuk tidur, sedangkan bumi disini sudah tidak ada yang kosong dan tersisa. Menyadari kami tidak mungkin berangkat malam ini, saya ulangi, kami tidak mungkin berangkat malam ini, dan kami harus mencari tempat untuk beristirahat. Senyuman penjaga warung kopi dan buah buahan tidak berhasil meluluhkan hati kami untuk singgah dan mengkonsumsi dagangan mereka.

“ Kita nginap dimana Da?

“ Jalan dulu aja mas Joko, mana tau didepan ada emperan kosong yang bisa untuk istirahaht barang sesaat.”

Langkah kami hentikan ketika menemukan warung kopi yang sudah ditinggal tidur penghuninya. Dua buah kursi sepanjang 3 meter dengan lebar 1 jengkal, seakan seonggok harapan kami untuk bisa memejamkan mata. Untuk beberapa saat saya bisa terlelap bersama seekor nyamuk dan beberapa temannya. Pukul 3 pagi, setelah menyicipi bubur kacang ijo (panglaris mang!!), kami berangkat menuju Merak. Ah bodoh sekali aku tidak bawa jaket. Hawa dingin yang keluar dari AC sampai menusuk tulang. **Ini tulangku…mana tulang mu!!!
----------------------------

Lagi (di) M(b)erak

Pukul 7 pagi kami sampai di pelabuhan Merak. Baru kali ini saya sholat shubuh jam 7 pagi. Bis itu tidak berhenti sebelum fajar pagi tadi menyingsing. Ampunilah mereka…dan kami


Diatas kapal kami mencari tempat duduk di sudut anjungan, supaya bisa bebas menikmati laut dan pulau pulau kecil yang kemungkinan besar tidak ditemukan dalam atlas dan peta. Memang kebanyakan pulau pulau ini hanya berupa delta yang tercipta dimusim kemarau, dan akan musnah dimusim hujan jika air laut naik. Panas mentari menerpa kulit, memberikan ultra violet yang sudah lama tidak dikonsumsi. Berlayar makin ketengah, permukaan laut terlihat semakin gelap, mungkin dasar laut semakin menajam sehingga pantulan matahari tidak sampai kedasar. Saya bernyanyi menghibur laut, membuat ikan ikan berdansa riang gembira, sendiri …

Teruntuk mu hatiku
Ingin ku bersuara
Merangkai semua tanya
Imaji yang terlintas…..

Dalam durasi 2,5 jam kami mengapung dan berlayar melintasi selat penghubung pulau Jawa dan Sumatera , dan kami sampai di Rajabasa, propinsi Lampung. Belum sempat turun menuju bis berikutnya, ratusan agen dan kenek sudah mulai berdatangan, tarik sana tarik sini. Beberapa ada yang melambaikan tangan, bukan sok akrab atau ramah. Mereka harus bisa bersaing dengan agen lain mendapatkan penumpang sebanyak mungkin demi sesuap nasi, atau sebungkus rokok. Ironis. Saya hanya menanggapi dengan tenang tawaran mereka, cukup mengangkat tangan kanan sejajar dada sambil mengucap “Maaf pak”, selesai.

Perjalanan dari Rajabasa menuju kediaman Joko (Bandar lampung) melewati Kalianda terasa lebih lama, sangat lama. Sopir bis serasa tidak sepenuh hati melajukan kendaraan. Kondisi jalan yang rusak dan berbatu membangunkan lelah tidur siang saya ketika kepala saya terbentur pada sisi jendela bis. Dug!!! Udara yang berputar masih menghembuskan uap lembab dan panas, bercampur asap rokok yang berkeliaran dilangit langit bis. Tapi hijau perkebunan jagung yang membentang di kiri kanan seakan menghembuskan hawa sejuk, menetralkan suasana sumpek dalam bis. Tepat pukul dua siang waktu setempat, kami sampai di Bandar Lampung.


Sampai di kediaman Joko, adiknya Rico , langsung berteriak dan dengan sumringah memeluk kakak nya yang datang. Jadi teringat masa kecil dulu, sewaktu masih SD dan SMP, pasti sangat senang jika kakak pulang ketika mereka libur kuliah atau cuti bekerja. Masa kecil ku didesa. Segelas sirup dingin menyegarkan tenggorokan yang dari tadi kering merontang, mengganti cairan tubuh yang sudah terbuang bersama uap panas yang keluar melalui pori pori kulit. Lelah perjalanan membuat saya istirahat total, terlelap dari sore sampai pagi. Terbangun hanya untuk sholat dan makan.
-------------------------------------------------***

Pagi yang menawan di hari Minggu, 25 Januari 2009, sehari sebelum tahun baru imlek. Sang mentari pagi dengan gagah berani muncul dari ufuk timur, menuangkan sinarnya untuk kehidupan dimuka bumi, khususnya Lampung. Hari ini cerah, secerah hati sang petualang. Selesai sarapan kami langsung berangkat mengunjungi tempat tempat yang sudah menjadi target. Tidak sia sia istirahat total kemaren, energi tubuh benar benar kembali segar. Mengunakan VEGA-R dengan kondisi jok dibabat tipis, tanpa menyisakan ruang empuk untuk duduk, kami mulai perjalanan ini dari Tanjung karang. Semakin kedalam nuansa hutan dan perkebunan terasa makin kental, walau juga banyak terlihat pabrik pabrik yang berdiri dengan congkak.



Tanaman yang paling banyak ditemukan diantaranya jagung dan karet. Mungkin jagung bakar yang sering saya makan setiap sore didaerah Cikarang berasal dari sini. Jajaran pepohonan karet berbaris rapi, tak satupun yang terlihat keluar dari jalurnya. Kadang terlihat beberapa petani yang sedang mengupas kulit karet untuk diambil getahnya.


Bukan angkutan umum

Kendaraan yang melewati daerah Lampung Timur ini relatif sedikit. Paling beberapa tukang ojek yang mencari penumpang, atau beberapa bis ukuran ¾ yang menuju Lampung Selatan atau Bandar Lampung. Melewati jalanan yang menanjak dan menurun, saya disuguhi hidangan alam yang benar benar alami. Pabrik pabrik sudah tidak terlihat lagi.



Kira kira jam setengah 11 pagi menjelang siang kami sampai di Bogong Raharjo, Lampung Timur. Disini kami menemui saudara Joko yang sudah lama tinggal disini. Memasuki pekarangan rumahnya yang hijau dan alami, terlihat banyak sekali bibit karet yang siap untuk dipasarkan. Selain itu juga ada bunga bunga yang diokulasi, menggabungkan warna daun yang satu dengan daun yang lain sehingga membentuk kombinasi warna yang serasi. Jadi teringat pekarangan rumah saya di desa, dulu orang tua juga senang merias tanaman seperti ini. Tapi setelah kami semua merantau sehingga tidak ada lagi yang merawat, bunga bunga itu dititip dirumah saudara. Mas Tono dulunya juga tinggal dan bekerja di Jakarta, tapi semenjak menikah dah memiliki anak 4 tahun lalu, dia memilih untuk hidup didesa.


“Di desa kita nggak haru repot untuk mencari sayuran dan rempah rempah untuk dimakan, semuanya tersedia. Disamping itu orang desanya biasanya lebih sehat karena air dan udara bersih sangat banyak.”


Sambil menikmati rambutan dan duku beserta segelas teh manis, Mas Tono bercerita panjang lebar tentang profesinya. Mulai dari pembuatan bibit sampai pada proses pemasaran yang tentunya tidak mudah. Beberapa kali dia pernah mengajukan pinjaman pada dinas pertanian setempat, tapi tidak pernah ditanggapi.

Pukul 12 siang kami dipersilahkan makan. Benar benar nikmat dan lahap ketika kita makan ditemani nyanyian burung dan suara binatang siang. Topik berikutnya, saya mulai menyinggung tentang begal yang sudah melegenda disana. Tentang aksi aksi serupa yang terjadi dan tak kenal waktu, siang atau malam. Karena Mas Tono sudah cukup lama tinggal disana, cerita cerita kriminal seperti itu ternyata bukan hal yang luar biasa lagi.

“Di dekat sini ada satu kampung yang profesi penduduknya tukang begal semua. Mereka tidak segan segan melukai bahkan membunuh korban. Kalau ada yang kehilangan sepeda motor dan ternyata sudah masuk ke kampung tersebut, bisa dijamin motor itu tidak bisa kembali. Bahkan aparat desanya pun melindungi aktifitas warganya itu.”

Ternyata profesi begal yang diturunkan secara turun temurun dalam sebuah desa, memang benar adanya. Bahkan bagi mereka, ada kebanggaan tersendiri jika berhasil masuk dan beraksi di daerah/pulau lain. Kenyataan ini sedikit mengingatkan saya pada film “Texas Chainsaw” yang pernah saya tonton beberapa tahun lalu. Mugkin pada ekspedisi berikutnya, saya akan mengunjungi desa tersebut.

Setelah dirasa informasi yang dibutuhkan sudah saya dapatkan, kira kira jam 2 siang kami pamit untuk pulang ke rumah Joko. Sampai dirumah pukul setengah 3 sore. Setelah istirahat siang selama satu jam, sorenya Joko ngajakin saya kesalah satu tempat wisata yang cukup terkenal disini, Kali Akar.

Kali Akar mirip dengan salah satu tempat wisata di kampung saya, Ngalau Indah. Sama sama didaerah perbukitan, dan juga menjadi tempat nongkrong pasangan cinta yang “tidak sehat”. Kali Akar juga terkenal sebagai tempat yang aman untuk selingkuh. Ga percaya…coba aja selingkuh disini. Kedatangan kami disini disambut dengan kemeriahan pesta durian yang baru saja akan dimulai.

Segera saya sambar microphone yang lagi nganggur dan dengan lantang saya menyanyikan lagu lagu favorite, diantaranya dari Repbvlik, Mr. Slow Hand (Eric Clipton) dan dari alm. Chryse yang dipopulerkan kembali oleh Peterpan.


Pukul setengah 6 sore kami kembali pulang. Malamnya saya nonton Transporter, keren juga. saya suka action sang pemain utama.

Pagi senin sebelum jam 9 pagi, saya menyelesaikan bab terakhir biografi salah seorang tokoh favorite saya.

Setelah berpamitan dengan orang tua dan kerabat Joko, kami berangkat menuju pelabuhan Rajabasa untuk menyeberangi Selat Sunda. Dalam perjalanan saya sempat merenung dan hampir menitikkan air mata ketika melihat Ibu Joko menyalami anak tertuanya itu

"Saya titip Joko ya Mas" sambil mata beliau berkaca kaca. Jadi ingat orang tua sendiri....hikss...
Perjalanan pulang kami berjalan dengan lancar, dan Alhamdulillah Senin sorenya, kami kembali sampai di Cikarang dengan selamat, tak kurang satu apapun.

Ucapan terima kasih banyak saya ucapkan khususnya kepada Joko dan keluarganya di Lampung. Saya benar benar menjadi tamu disana...terima kasih banyak...Jaza kumullohu khoiro

8 komentar:

  1. Buat gw k lampung dah biasa tiap mudik lebaran pasti k lampung dlu secara mbah putri n kakung gw dsna (Alm)..Tapi ttp aja gw serem tuh d raja basa, ga calo bus,travel smuanya garang, gw aja smpt mo berantem ma slh satu kernet nya..wkakka.
    Baidewei, eniwei, baswei,Bos kyknya 25 januari itu hr minggu deh, pa kalender d lu ma gw beda ya.
    Salut buat lu,demi obsesi papun dilakukan (two tumb up)smga pa yg lu bkin nanti bs bermanfaat buat smua..n jgn lp byr gw dah setia ngasih komen k lu (itung2 bantuin gw beli mobil wkakakak)

    BalasHapus
  2. Busyettt..ga bisa ngebayangin deh gua klo lo sampe berantem ama kernet, pasti lo keluarin deh jurus kunyuk melempar buah lo hehehe

    Pas gua cek, ternyata 25 Januari minggu ya hehehe, yo wiss...gua ganti jadi 24 dehh

    Thanks for the whises Ma, thanks banget.
    Lo kumpulin dulu aja, nanti gua bayar deh hehehe, se ceng aja ya...(se ceng berapa sih?)

    BalasHapus
  3. Lampuang nan jauh dimato. Hehehe..
    wah asik ya punya motor yg bisa buat touring, jalan terussss.

    BalasHapus
  4. Bukan naik motor dik, bis umum. Awalnya mau naik motor, tapi karena libur cuma tiga hari (takutnya cuma dapat capeknya doang), akhirnya diputuskan naik bis umum aja.
    Lagian kalau bawa motor plat Jakarta harus ramean, takut di 'begal nantinya hihihihi

    BalasHapus
  5. Sebaiknya tempat wisata Kali Akar nya diperkenalkan di kalangan "selingkuh-er" YMI :-)

    BalasHapus
  6. Bener bos, ini salah satu PR saya untuk bisa mensosialisasikan tempat tsb ke rekans di YMI. Tapi sebelum disosialisasikan, kayaknya owner harus turun tangan dulu deh ke lokasi, kira kira cocok dan bener bener aman ga? Hahahaha

    BalasHapus
  7. Coretan yang menarik....

    BalasHapus